Minggu, 28 November 2010

Taman Nasional Zamrud dan Spirit Pelestarian Hutan


|Laju kerusakan hutan| di tanah air beberapa dekade terakhir sungguh sangat memprihatinkan. Akibatnya, Indonesia mengalami kerugian material dan nonmaterial yang sangat besar, baik berupa rusaknya kekayaan hayati yang terdapat di dalam hutan maupun bencana alam yang menimbulkan korban jiwa.
Riau sebagai salah satu daerah yang memiliki kawasan hutan sangat luas juga mengalami hal yang serupa. Aktivitas illegal logging telah menghancurkan sebagian besar kawasan hutan di Riau, bahkan kawasan yang berstatus taman nasional sekalipun. Ironisnya, banyak pemerintah daerah yang kurang peduli dengan kondisi ini.

Di tengah keprihatinan kita akan ancaman kerusakan hutan ini, muncul sebuah upaya untuk kembali memperbaiki kondisi hutan alam yang rusak tersebut. Adalah Pemerintah Kabupaten Siak yang kini secara serius mencoba mengoptimalkan pengembangan Taman Nasional Zamrud (TNZ). Sebuah kawasan seluas 38.500 hektar di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak yang memiliki potensi keindahan alam dengan berbagai sumber daya hayati dan ekosistem unik yang bisa dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat.

Menurut Bupati Siak Arwin AS, timbulnya ide mengembangkan TNZ berawal dari rasa prihatin karena tidak terurusnya kawasan suaka margawatwa Danau Pulau Besar dan Danau Pulau Bawah. Di kawasan konservasi seluas 25.000 hektar itu terjadi perambahan hutan, penebangan liar, penangkapan ikan dan kebakaran hutan dan lahan. Padahal di dalam lokasi itu terdapat keunikan ekosistem rawa gambut dengan berbagai keanekaragaman jenis flora dan fauna.

Pada tahun 2002 Menteri Lingkungan Hidup masa itu, Nabiel Makarim menganjurkan agar Pemkab Siak menjadikan kawasan sebagai Taman Nasional. Salah satu jalannya adalah merangkul seluruh pihak agar kawasan itu tetap lestari dan terjaga. Anjuran ini kemudian dilakukan Pemkab Siak dan menuai hasil dengan diperolehnya kawasan seluas 38.500 hektar untuk dijadikan Taman Nasional Zamrud.

Upaya keras yang dilakukan Pemkab Siak ini tentu saja pantas mendapat acungan jempol sekaligus dukungan serius dari seluruh stake holder. Pengembangan Taman Nasional Zamrud harus terus berjalan karena akan menjadi sebuah spirit dan motivasi bagi daerah-daerah lain untuk melakukan hal yang serupa.

Pemerintah provinsi, perusahaan-perusahan besar yang beroperasi di daerah ini, kalangan kampus, aktivis lingkungan serta seluruh masyarakat di daerah ini harus bahu membahu, baik dalam memberikan pemikiran maupun dukungan dana untuk bisa mewujudkan terciptanya sebuah kawasan taman nasional yang bisa dinikmati oleh anak cucu kita di masa datang. Semoga…

Kondisi Aktual Kawasan Hutan Lindung.

|Kondisi Aktual Kawasan Hutan Lindung.|Berdasarkan peta kesepakatan hutan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Propinsi Kalimantan Tengah yang telah direvisi pada tahun 1993 dan Rencana Tataruang Wilayah Kabupaten Murung Raya tahun 2003, lokasi kawasan Hutan Lindung di wilayah Landskap Maruwai tersebar di 13 lokasi.


Lokasi Hutan Lindung berdasarkan Peta TGHK Propinsi Kalteng (1993)


Lokasi Hutan Lindung berdasarkan Peta RTRWK (2003)


Lokasi Hutan Lindung berdasarkan Peta Draft RTRWK (2008)

Terlihat, walaupun memiliki sebaran jumlah yang sama, akan tetapi lokasi dan bentuk arahan HL memiliki
perbedaan yang cukup signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan peta dasar yang dimiliki intansi yang mengeluarkan penunjukan kawasan HL. Hal yang sama juga terjadi pada penunjukan kawasan hutan lainnya, seperti Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas maupun hutan kawasan konservasi.
Perbedaan ini menyebabkan banyak kawasan Hutan Lindung menjadi tidak aman dari sisi kepastian hukum, proses penataan batas hutan lindung sendiri sebagian besar telah dilakukan, walaupun keberadaan pal batas di lapangan sebagai titik acuan seringkali sulit untuk ditelusur.

Luas total HL berdasarkan RTRWK adalah 429.546 Ha, sedangkan berdasarkan TGHK adalah 464.713 Ha. Terdapat perbedaan selisih sebesar 35.166 Ha.

Penunjukan kawasan Hutan Lindung pada periode tahun 1990-an menunjukan bahwa banyak kawasan-kawasan HL berada pada lokasi yang tidak sesuai dengan criteria lahan/kawasan yang dapat dijadikan kawasan HL. Hal ini disebabkan karena minimnya informasi yang akurat pada saat penunjukan.


Selasa, 23 November 2010

Jati (Tectona grandis)


Jati mas, jati super, jati pusaka, jati unggul dan lain-lain nama, sebenarnya merupakan produk yang sama. Jati (Tectona grandis) adalah tumbuhan penghasil kayu dengan kualitas terbaik di dunia. Tumbuhan ini sebenarnya berasal dari India. Masuk ke Indonesia diperkirakan pada zaman pra Hindu. Pada waktu itu, kapal-kapal dagang Hindu sudah mulai masuk ke kepulauan Nusantara untuk mencari kayu cendana, gaharu, kemenyan, pala, cengkeh, lada dan kelapa. Kapal-kapal yang terserang badai dan patah tiang layarnya, setelah berlabuh di pesisir utara pulau Jawa segera mencari kayu pengganti tiang yang patah. Tetapi tidak ada kayu yang kualitasnya sama dengan tiang layar mereka. Sebab tiang layar kapal-kapal Hindu tadi terbuat dari kayu jati. Sejak itulah diupayakan untuk mengintroduksi tanaman jati ke pulau Jawa, agar perahu-perahu Hindu yang rusak tiang layarnya tidak mengalami kesulitan untuk melakukan perbaikan. Pertama-tama, tanaman jati dibudidayakan di kawasan Rembang dan Blora. Baru kemudian meluas ke kawasan-kawasan lainnya. Ketika kerajaan-kerajaan Hindu mengalami masa kejayaannya, budidaya tanaman jati ini tetap dilanjutkan. Tetapi dinasti yang memerintah kerajaan Jawa berganti-ganti. Ibukotanya juga berpindah-pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dan kembali ke Jawa Tengah lagi. Sejak itulah komoditas jati tidak terurus hingga menjadi tumbuhan liar di hutan-hutan di pulau Jawa.
Ketika bangsa Belanda dan juga Inggris menguasai pulau Jawa, budidaya tanaman jati kembali dilakukan secara serius. Penanaman jati menjadi monopoli pemerintah. Saat ini pengelola hutan jati di pulau Jawa adalah PT. Perhutani. Sebuah BUMN yang mengelola hutan di seluruh pulau Jawa, kecuali hutan di Ujung Kulon, gunung Halimun, Gede – Pangrango, Kep. Seribu, Bromo – Tengger – Semeru, Meru Betiri, Alas Purwo dan Baluran yang berstatus Taman Nasional. Usia panen tanaman jati berkisar antara 50 tahun sampai 80 tahun. Hingga kayu jati yang dipanen PT. Perhutani sekarang-sekarang ini, merupakan tanaman tahun 1920-an sampai tahun 1950-an. Berarti kayu jati hasil panen sekarang ini, masih lebih banyak yang merupakan tanaman (warisan) pemerintah kolonial Hindia Belanda daripada yang kita tanam sendiri. Mengingat usianya yang sampai puluhan tahun, petani maupun investor kurang begitu tertarik untuk menanam jati. Hingga ketika terbetik kabar tentang adanya varietas tanaman jati yang sudah bisa dipanen sejak umut 10 tahun (penjarangan) kemudian dipanen habis pada umur 15 tahun, masyarakat pun menyambutnya dengan sangat antusias. Jati-jati genjah demikian disebut sebagai jati mas, jati super, jati pusaka, jati unggul dan lain-lain.
Bayangan masyarakat awam terhadap jati super adalah, pada umur 15 tahun diameter tanaman sudah bisa menyamai jati biasa yang berumur 50 tahun sampai 80 tahun. Dugaan ini tentu saja keliru. Diameter jati super umur 15 tahun, masih sama dengan diameter kayu jati biasa pada umur yang sama, yakni hanya sekitar 15 cm. Dengan asumsi, pertumbuhan diameter kayu jati, tiap tahunnya sebesar 1 cm. Sebenarnya, jati biasa tanaman PT. Perhutani pun pada umur 10 tahun sudah mulai dipanen untuk penjarangan tanaman. Hasilnya adalah kayu-kayu jati berdiameter 10 cm, yang penampilan fisiknya jelek. Hingga sebenarnya, kelebihan jati super dan lain-lain tersebut bukan pada umur panennya, melainkan pada jenis kayu yang dihasilkannya. Kriteria utama kayu jati, adalah pada jenisnya, yakni vinir dan hara. Vinir adalah kayu jati yang seratnya sangat halus hingga mudah sekali disayat. Kayu jenis ini akan diserap oleh industri furniture kelas tinggi atau untuk bahan pelapis. Sementara jenis hara akan diserap oleh industri furniture biasa. Kayu jenis ini berserat kasar dan banyak mata bekas tumbuhnya cabang. Kelebihan jati super adalah, kayu yang dihasilkannya merupakan jenis vinir yang harganya lebih tinggi dari jati biasa yang lebih banyak menghasilkan kayu hara.
Baik jenis vinir maupun hara, masih pula dibedakan menjadi beberapa katagori mutu. Mulai dari mutu utama (terbaik), standar pertama, kedua dan seterusnya sampai dengan mutu kelima. Masing-masing mutu tentu memiliki nilai harga yang berlainan. Berikutnya, harga kayu jati juga akan ditentukan oleh diameter dan panjang gelondongan. Harga kayu vinir mutu utama berdiameter 15 cm, pasti lebih murah jika dibanding dengan kayu yang sama dengan diameter 30 cm atau 50 cm, misalnya. Sebab kayu sisa yang terbuang pada 1 m3 kayu berdiameter 50 cm, lebih sedikit dibanding 1 m3 kayu dengan kualitas sama yang diameternya 15 cm. Selain faktor diameter, yang juga ikut menentukan harga kayu jati adalah panjang gelondongan. Kayu dengan kualitas dan diameter sama namun dengan panjang gelondongan berbeda, harganya pun akan berbeda pula. Jadi, meskipun lebih banyak menghasilkan jenis vinir, harga gelondongan jati super yang dipanen pada umur 15 tahun belum tentu lebih mahal jika dibanding dengan jenis hara yang dipanen pada umur 60 tahun atau 80 tahun dengan diameter 50 cm dan 80 cm. Hal demikian inilah yang selama ini tidak diketahui oleh para petani atau calon investor kita.
Sebenarnya sejak awal abad 20, pemerintah kolonial Belanda sudah mengimpikan adanya klon tanaman jati yang tidak menghasilkan cabang. Tumbuhnya lurus dengan serat kayu yang halus. Klon-klon ini setelah diseleksi lalu diperbanyak secara vegetatif dengan okulasi. Tetapi cara ini terlalu mahal untuk diterapkan pada jati. Keadaan baru berubah ketika ditemukan teknologi perbanyakan vegetatif dengan kultur jaringan. Dengan cara ini perbanyakan vegetatif bisa dilakukan dengan massal dan biaya murah. Klon tanaman jati yang tidak menghasilkan cabang itulah yang secara selektif diteliti dan diperbanyak oleh Balitbang Dep. Kehutanan dan Perum Perhutani. Hasilnya tentu saja hanya diperuntukkan bagi kepentingan intern Perum Perhutani. Dewasa ini PT. Perhutani telah memiliki sekitar 30 klon jati unggul. Tetapi di Thailand dan Malaysia, upaya serupa dilakukan oleh pihak swasta. Hasilnya dipromosikan ke masyarakat luas hingga sampai ke Indonesia. Pihak swasta Indonesia pun menanggapinya dengan sangat antusias. Klon-klon jati tanpa cabang dengan serat halus ini pun diperbanyak dengan kultur jaringan. Harga bibit jati super seperti ini berkisar antara Rp 4.000,- sampai dengan Rp 20.000,- per tanaman dengan ketinggian sekitar 50 cm. Variasi harga yang sangat tinggi ini disebabkan oleh banyak faktor. Terutama oleh perbedaan upah tenaga kerja dan volume bibit yang dihasilkannya. Semakin banyak volume bibit yang dihasilkan, harga satuannya akan semakin murah.
Karena kelebihan utama jati unggul ini terletak pada kualitas kayunya, maka promosi mengenai pendeknya jangka waktu panen sebenarnya sangat tidak relevan. Sebab ketuaan umur panen, juga akan menghasilkan diameter kayu yang makin besar dan hal ini juga akan berpengaruh pada tinggi rendahnya harga. Yang lebih pas dipromosikan pada jati unggul ini adalah kualitas kayu yang akan dihasilkannya. Hingga usia panennya boleh 15 tahun, 30 tahun, 50 tahun atau malahan 100 tahun. Semakin tua umur tanaman, semakin tinggi harga kayu yang dihasilkannya, karena diameternya akan terus bertambah. Pengertian ini penting dikemukakan karena variasi harga kayu jati resmi (bukan kayu Sepanyol = Separo Nyolong) berkisar antara Rp 1.500.000,- yang terendah sampai Rp 8.000.000,- yang tertinggi per m3 gelondongan. Variasi harga ini selain ditentukan oleh jenis kayu dan kualitasnya, juga oleh diameter gelondongannya. Informasi tentang jenis jati unggul yang bisa dipanen pada usia 15 tahun sebenarnya sangat menyesatkan karena diameter kayunya masih sekitar 15 cm. Nilai kayu dengan diameter demikian, bagaimana pun juga, tetap lebih rendah jika dibandingkan dengan kayu dengan kualitas yang lebih rendah, namun dengan diameter yang lebih besar.
Dengan harga bibit rata-rata Rp 8.000,- per batang, dengan populasi tanaman per hektar 1.000 pohon (jarak tanam 3 x 3 m), maka keperluan bibit untuk tiap hektar lahan Rp 8.000.000,-. Biaya olah tanah dan penanaman sekitar Rp 2.000.000,-. Hingga modal penanaman jati unggul dengan jarak tanam rapat adalah Rp 10.000.000,- per hektar. Dengan kapasitas kerja 1 orang untuk tiap 5 hektar lahan, dengan upah harian Rp 10.000,- per hari; maka upah kontrol untuk tiap hektar lahan selama 15 tahun adalah Rp 18.000.000,-. Ditambah dengan biaya lain-lain seperti pupuk, biaya tersebut bisa mencapai Rp 30.000.000,-. Hingga total beban investasi dan amortisasi selama 15 tahun adalah Rp 40.000.000,-. Asumsi hasil kayu setelah 15 tahun sekitar 100 m3 dengan harga terendah Rp 1.500.000,- per m3, maka pendapatan kotor per hektar lahan jati unggul setelah 15 tahun adalah Rp 150.000.000,-. Kalau harga kayu bisa mencapai Rp 3.000.000,- per m3 maka pendapatan kotornya akan menjadi Rp 300.000.000,-. Pendapatan ini cukup menarik untuk lahan-lahan marjinal yang memang tidak mungkin ditanami komoditas lain. Tetapi untuk lahan-lahan subur pendapatan kotor Rp 30.000.000,- per 15 tahun atau Rp 20.000.000,- per tahun masih belum begitu menarik. Sebab masih banyak komoditas yang bisa mendatangkan pendapatan kotor beberapa kali lipat dibandingkan dengan jati unggul. Komoditas buah-buahan pada umumnya mampu mendatangkan pendapatan yang jauh lebih tinggi dibanding jati.
Kayu jati memiliki banyak keunggulan dibanding dengan jenis-jenis kayu lainnya karena beberapa hal. Pertama, kelas keawetannya yang tinggi. Keawetan jati, antara lain disebabkan oleh adanya minyak asiri yang disebut teak oil dalam jaringan kayunya. Tingkat kekuatan kayu ini juga tergolong tinggi. Kelas keawetan dan kekuatan jati hanya tertandingi oleh sono keling, ebony, ulin dan beberapa kayu keras lainnya. Tetapi, tingkat kekerasan jati hanya tergolong sedang. Namun justru tingkat kekerasan yang sedang ini akan memudahkan proses pengerjaannya untuk bahan bangunan maupun furniture. Selain kelas keawetan, kekuatan dan kekerasannya yang baik, jati juga masih memiliki keunggulan pada keindahan serta kehalusan tekstur seratnya. Selain warna kayunya yang coklat alami. Kebutuhan kayu jati pada tahun-tahun mendatang akan semakin besar. Sebab kayu-kayu rimba tropis akan semakin terbatas volumenya yang bisa dieksplorasi. Sementara kayu budidaya lainnya seperti mahoni, pinus dan albisia, kelasnya masih berada di bawah jati. Hingga permintaan kayu jati akan tetap lebih baik dibanding dengan kayu-kayu tadi. Meskipun penanaman jati sudah meluas sampai ke Afrika, namun untuk saat ini pulau Jawa masih merupakan sentra hutan jati utama di dunia.
Jati-jati unggul yang sekarang ini digandrungi masyarakat, sebenarnya hanyalah salah satu alternatif komoditas. Bukan merupakan komoditas hebat yang akan mendatangkan keuntungan luar biasa. Asumsi masyarakat awam bahwa jati super ketika dipanen pada umur 15 tahun akan menghasilkan volume kayu sama dengan jati biasa pada umur 50 tahun jelas perlu diluruskan. Dewasa ini masih banyak penjual bibit jati unggul yang memasarkan produk mereka dengan harga Rp 15.000,- sampai Rp 20.000,- per tanaman. Harga itu tentu terlalu tinggi sebab bibit pisang kultur jaringan bisa diperoleh dengan harga di bawah Rp 5.000,- per tanaman. Mestinya, jati yang penanganan aklimatisasinya tidak serumit pisang bisa berharga lebih murah minimal sama dengan pisang. Dan kenyataannya, ada juga penangkar jati unggul yang bisa melepas produk mereka dengan harga Rp 4.000,- per tanaman.

Selasa, 16 November 2010

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan

Hutan mempunyai jasa yang sangat besar bagi kelangsungan makhluk hidup terutama manusia. Salah satu jasa hutan adalah mengambil karbon dioksida dari udara dan menggantimya dengan oksigen yang diperlukan makhluk lain. Maka hutan disebut paru-paru dunia. Jadi, jika terlalu banyak hutan yang rusak, tidak akan ada cukup oksigen untuk pernapasan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, yang dimaksud dengan hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan
1. Jenis-Jenis Hutan di Indonesia
A. Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Iklim
Berdasarkan iklimnya, hutan-hutan di Indonesia diklompokkan menjadi Hutan hujan tropika dan Hutan monsun (monsoon forest).

1) Hutan Hujan Tropika
Hutan hujan tropika adalah hutan yang terdapat didaerah tropis dengan curah hujan sangat tinggi. Hutan jenis ini sangat kaya akan flora dan fauna. Di kawasan ini keanekaragaman tumbuh-tumbuhan sangat tinggi. Luas hutan hujan tropika di Indonesia lebih kurang 66 juta hektar
Hutan hujan tropika berfungsi sebagai paru-paru dunia. Hutan hujan tropika terdapat di Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.

2) Hutan Monsun
Hutan monsun disebut juga hutan musim. Hutan monsun tumbuh didaerah yang mempunyai curah hujan cukup tinggi, tetapi mempunyai musim kemarau yang panjang. Pada musim kemarau, tumbuhan di hutan monsun biasanya menggugurkan daunnya.
Hutan monsun biasanya mempunyai tumbuhan sejenis, misalnya hutan jati, hutan bambu, dan hutan kapuk. Hutan monsun banyak terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

B. Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Variasi Iklim, Jenis Tanah, dan Bentang Alam

1) Kelompok Hutan Tropika
a) Hutan Hujan Pegunungan Tinggi
b) Hutan Hujan Pegunungan Rendah
c) Hutan Tropika Dataran Rendah
d) Hutan Subalpin
e) Hutan Pantai
f) Hutan Mangrove
g) Hutan Rawa
h) Hutan Kerangas
i) Hutan Batu Kapur
j) Hutan pada batu Ultra Basik

2) Kelompok Hutan Monsun

a) Hutan Monsun Gugur Daun
b) Hutan Monsun yang Selalu Hijau (Evergren)
c) Sabana

C. Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Terbentuknya

1) Hutan Alam
Hutan alam adalah adalah suatu lapangan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam lingkungannya. Hutan alam juga disebut hutan primer, yaitu hutan yang terbentuk tanpa campur tangan manusia

2) Hutan Buatan
Hutan buatan disebut hutan tanaman, yaitu hutan yang terbentuk karena campur tangan manusia.

D. Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Statusnya

Berdasarkan statusnya, hutan di Indonesia dapat dibedakan sebagai berikut.
1) Hutan negara, yaitu hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
2) Hutan hak, yaitu hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Hak atas tanah, misalnya hak milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), dan hak guna bangunan (HGB).
3) Hutan adat, yaitu hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.

E. Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Jenis Tanamannya

1) Hutan Homogen (Sejenis), yaitu hutan yang arealnya lebih dari 75 % ditutupi oleh satu jenis tumbuh-tumbuhan. Misalnya: hutan jati, hutan bambu, dan hutan pinus.
2) Hutan Heterogen(Campuran), yaitu hutan yang terdiri atas bermacam-macam jenis tumbuhan.

F. Jenis-Jenis Hutan di Indonesia Berdasarkan Fungsinya
Berdasarkan pasal 6 undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, fungsi hutan di Indonesia dikelompokkan menjadi tiga, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Berdasarkan tiga fungsi tersebut, pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokok, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi.

1) Hutan Konservasi
Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Hutan konservasi terdiri atas kawasan hutan suaka alam dan kawasan hutan pelestarian alam.
a) Hutan Suaka alam adalah hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa dan ekosistemnya serta berfungsi sebagai wilayah penyangga kehidupan. Kawasan hutan suaka alam terdiri atas cagar alam, suaka margasatwa dan Taman Buru
b) Kawasan Hutan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik didarat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri atas taman nasional, taman hutan raya (TAHURA) dan taman wisata alam

2) Hutan Lindung
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan

3) Hutan Produksi
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta pembangunan, industri, dan ekspor pada khususnya. Hutan produksi dibagi menjadi tiga, yaitu hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat dikonservasikan (HPK).

2. Hasil-hasil hutan Indonesia dan Pemanfaatannya
Hutan di Indonesia memiliki tumbuhan yang beraneka ragam, terutama yang berbentuk pohon. Secara keseluruhan, di Indonesia terdapat + 40.000 jenis tumbuhan, 25.000 – 30.000jenis di antaranya adalah tumbuhan berbunga, yang merupakan 10 % dari seluruh tumbuhan berbunga di dunia. Kekayaan hutan yang melimpah ruah tersebut meberikan manfaat kepada penduduk Indonesiamaupun bangsa lain.
Beberapa hasil hutan Indonesia dapat dikelompokkan menjadi kayu dan nonkayu. Hasil hutan nonkayu juga disebut hasil hutan ikutan.

A. Hasil Hutan Berupa Kayu
1) Kayu Agathis (Agathis alba)
2) Kayu Bakau atau Mangrove (Rhizophora)
3) Kayu Bangkirai (Hopea mengerawan)
4) Kayu Benuang (Octomeles sumatrana)
5) Kayu Duabanga (Duabanga moluccana)
6) Kayu Jelutung (Dyera Sp.)
7) Kayu Kapur (Dryobalanops fusca)
8) Kayu Kruing (Dipterocarpus sp.)
9) Kayu Meranti (Shorea sp)
10) Kayu Nyatoh (Palaquium javense)
11) Kayu Ramjin (Gonystylus bancanus)
12) Kayu Jati (Tectona grandis)
13) Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri)
14) Kayu Sengon (Albizzia chinensis) dan lain sebagainya.

B. Hasil Hutan Nonkayu
Hasil Hutan nonkayu juga disebut hasil hutran ikutan. Hasil hutan ikutan antara lain :
1) Rotan
2) Damar
3) Kapur Barus
4) Kemenyan
5) Gambir
6) Kopal
7) Kulit pohon Bakau
8) Gondorukem
9) Terpentin
10) Bambu
11) Sutra Alam
12) Minyak Kayu Putih
13) Madu

3. Pengolahan Hasil Hutan
Hal yang berkaitan dengan hasil hutan adalah kegiatan pengolahan hasil hutan, antara lain berupa industri penggergajian kayu. Industri penggergajian kayu terdapat di Samarinda, Balikpapan, Pontianak, dan Cepu (Jawa Tengah, untuk penggergajian kayu jati). Hasil dari industri ini berupa kayu gelondongan (log/bulat), kayu gergajian, dan kayu lapis untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan ekspor. Ekspor kayu gergajian dan kayu lapis terutama kenegara Jepang, Hongkong, Singapura, Amerika Serikat, dan Australia.
Mulai Tahun 1985 pemerintah melarang ekspor kayu gelondongan dan mengubahnya menjadi ekspor kayu olahan, yaitu berupa kayu gergajian, kayu lapis, atau berupa barang jadi seperti mebel. Selain kayu gelondongan, yang terkena larangan ekspor adalah rotan asalan.
Tujuan adannya larangan ekspor kayu gelondongan dan rotan asalan tersebut antara lain untuk membatasi eksploitasi yang berlebihan terhadap dua jenis komoditas tersebut dan untuk meningkatkan lapangan kerja di bidang industri perkayuan yang bersifat padat karya.

4. Faktor-faktor Pendorong Usaha Pengembangan Kehutanan di Indonesia 
Beberapa faktor yang mendukung usaha pengembanagan kehutanan di Indonesia

a. Wilayah Indonesia berada di daerah beriklim tropis dengan curah hujan tinggi sepanjang tahun, sehingga Indonesia tidak pernah mengalami musim gugur seperti negara-negara beriklim subtropis dan sedang.

b. Keadaan tanah di Indonesia sangat subur sehingga sangat baik bagi tumbuhnya berbagai jenis pohon dan tumbuh-tumbuhan lainnya.

c. Tersedianya sumber daya hutan berpotensi dan belum termanfaatkan, yang secara geografis tersebar luas di sebagian besar wilayah Indonesia.

d. Adanaya permintaan pasar terhadap hasil hutan indonesia, baik pasar dalam maupun luar negeri yang cenderung meningkat.

5. Faktor-Faktor Penghambat Usaha Pengembangan Kehutanan di Indonesia dan Cara Mengatasinya
Berbagai kendala yang dihadapi dalam pengembangan bidang kehutanan sebagai berikut.

a. Berkurangnya areal hutan karena pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi. Hutan ditebang dan dijadikan kawasan permukiman penduduk, pertanian, dan perkebunan.

b. Masih terdapat sistem pertanian ladang berpindah, terutama diluar Jawa.

c. Terjadinya kebakaran hutan yang disebabkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

d. Terjadinya penebangan liar dan pencurian kayu di hutan yang dapat merusak hutan dan keanekaragaman hayati.

e. Usaha reboisasi dan penghijauan yang gagal dan kuurang berhasil karena kekurangan dana serta adanya gangguan alam, seperti musim kemarau yang panjang.

f. Pengambilan hasil hutan yang tidak mengikuti aturan yang telah ditetapkan pemerintah oleh pengusaha swasta pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan).

g. Pengambilan kayu yang terus meningkat akibat kebutuhan kayu untuk pemukiman dan bahan baku industri.
Untuk mengatasi faktor-faktor penghambat dalam usaha pengembangan kehutanan di Indonesia sebagai berikut.

a. Menggunakan sumber daya hutan sebaik-baiknya untuk peningkatan volume dan nilai ekspor, merangsang pertumbuhan industri hilir pengolahan hasil-hasil hutan serta mempertahankan kelestarian sumber daya hutan.
b. Melakukan eksploitasi hasil hutan, terutama kayu, secara hati-hati. Perusahaan pemegang konsesi HPH diwajibkan memenuhi ketentuan sistem Tebang Pilih Tanaman Indonesia (TPTI).
c. Pemegang HPH dikenakan iuran Dana Jaminan Reboisasi yang akan dipergunakan unruk mengutankan kembali areal bekas tebagan dan mempertahankan kondisi hutan sesuai keadaan semula.
d. Memberikan dorongan kepada kalangan swasta agar berpartisipasi dalam pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang di maksudkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri.
e. Melarang penebangan hutan secara sembarangan.
f. Memperketat penjagaan hutan dengan mempersiapkan polisi hutan, melindungi hutan dari pencurian kayu, dan penebangan liar.

Pembalakan Liar Biang Keladi Banjir Wasior

“Banjir disebabkan karena 3 faktor yaitu penebangan hutan baik legal maupun diduga IPKR (ijin pemanfaatan kayu rakyat), penambangan hulu sungai dan karena ada konversi kawasan untuk dijadikan pengembangan kota Wasior tanpa mengindahkan daya dukung lingkungan dan daya tampung,” jelas Chalid saat dihubungi okezone, Minggu (10/10/2010) malam.


Meski pemerintah tidak menerbitkan ijin hak pengelolaan tanah (HPH) di Wasior, namun tetap saja penebangan liar terjadi. Saat ini pihaknya pun tengah menindaklanjuti adanya informasi terkait dugaan pemberian ijin IPKR kepada pengusaha yang kemudian disalahgunakan untuk pembalakan liar.

Selain itu, adanya penambangan batu dan pasir di hulu sungai yang melewati kota Wasior diduga ikut memperparah terjadinya kerusakan lingkungan. Kendati begitu, dia tidak memungkiri bila faktor curah hujan tinggi menjadi salah satu penyebab banjir bandang.

Karenanya,pemerintah didesak segera melakukan penyelidikan untuk mencari penyebab pasti banjir termasuk menemukan cara penanganan keselamatan lingkungan. “Jadi yang harus dilakukan selidiki siapa yang melakukan kegitan penebangan di Wasior dan siapa yang melakukan penambangan itu,”.


Hingga saat ini, korban tewas akibat banjir bandang Wasior mencapai 154 jiwa. Sementara warga yang hilang dilaporkan mencapai 120 orang.(fer)

Degradasi Hutan Hujan Tropis di Indonesia

Hutan hujan tropis Indonesia merupakan salah satu hutan yang paling terancam di muka bumi. Menurut Butler (2007), antara tahun 1990 – 2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 persen hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologi ini adalah yang kedua di bawah Brazil. Jumlah hutan-hutan di Indonesia makin menurun dan banyak dihancurkan karena  aktivitas manusia. Data pada tahun 1960-an, sebanyak 82% luas negara Indonesia ditutupi oleh hutan hujan, turun menjadi 68% di tahun 1982, 53% di tahun 1995, dan 49% pada saat ini. Umumnya, hutan tersebut bisa dikategorikan sebagai hutan yang telah terdegradasi.

Manusia adalah penyebab utama terdegradasinya hutan hujan tropis. Di Indonesia, aktivitas manusia yang merusak hutan antara lain penebangan kayu, penambangan di wilayah hutan, agrikultur, konstruksi jalan raya, perkampungan, dan peternakan. Hutan di Indonesia kini sedang dalam kondisi yang parah karena kehilangan lebih dari dua juta hektare area hutan pada setiap tahun. Kerusakan terutama terjadi di hutan hujan tropis di pulau Kalimantan.

Penebangan Kayu

Penebangan hutan di Indonesia telah memperkenalkan beberapa daerah yang paling terpencil, dan terlarang di dunia pada pembangunan. Penebangan hutan dilakukan dengan alasan kebutuhan kayu untuk bangunan dan kayu bakar. Aktivitas penebangan hutan di Indonesia, dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan-perusahan industry kayu baik secara legal maupun illegal. Praktek penebangan hutan sangat luas terjadi di pulau Kalimantan dan Papua, di mana perusahaan kayu terus masuk semakin dalam ke daerah interior untuk mencari pohon yang cocok. Hal tersebut telah menimbulkan kerusakan yang semakin parah pada hutan hujan di Indoensia. Sebagai contoh, di pertengahan 1990-an sekitar 7% dari ijin penambangan berada di Irian Jaya, namun saat ini lebih dari 20 persen ada di kawasan tersebut (Butler, 2007).

 Agrikultur Di Hutan Hujan

Setiap tahun, ribuan mil hutan hujan dihilangkan untuk kegunaan pertanian. Ada dua dua kelompok yang terlibat dalam mengubah hutan hujan menjadi tanah pertanian yaitu penduduk setempat (petani) dan perusahaan dalam bidang pertanian. Menurut Butler (2007), para petani miskin menggunakan cara tebang dan bakar untuk membersihkan bidang tanah di hutan. Biasanya mereka bercocoktanam di bidang tanah tadi untuk beberapa tahun hingga tanah kehabisan nutrisi dan setelah itu mereka harus berpindah ke suatu bidang tanah baru di dalam hutan dan melakukan hal yang sama kembali.

Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya program transmigrasi ke lokasi hutan hujan tropis pada beberapa dasawarsa terakhir. Sedangkan perusahaan bidang pertanian banyak menggunakan jasa penduduk local, dipekerjakan untuk membuka hutan dengan cara tebang dan bakar. Kemudian lahan tersebut digunakan untuk tanaman monokultur seperti kelapa sawit.

Aktivitas Pertambangan

Pertambangan merupakan salah satu penyebab terbesar hilangnya hutan hujan tropis di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan sangat jelas terutama hutan hujan tropis di Kalimantan. Luas hutan hujan berkurang secara luar biasa oleh aktivitas pertambangan baik legal dan ilegal. Kerusakan hutan Kalimantan telah berdampak pada erosi massal, pendangkalan sungai dan berujung pada bencana banjir. Banyak aktivitas pertambangan lain di Indonesia memiliki wilayah operasi di dalam hutan hujan tropis yang dilindungi, seperti di Sumatera, Sulawesi,  dan Papua. Semuanya berkontribusi besar dalam proses degradasi hutan hujan tropis, meskipun tetap dilakukan upaya rehabilitasi purnatambang.

Konstruksi Jalan Di Hutan Hujan

Konstruksi jalan maupun jalan raya di hutan hujan membuka banyak wilayah untuk pengembangan. Di Indonesia, pembukaan jalan raya trans di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Papua menghasilkan perusakan hutan di banyak wilayah. Dengan konstruksi jalan, memudahkan akses oleh rakyat miskin dan pihak tertentu untuk melakukan eksploitasi hutan secara ilegal. Hal ini secara perlahan memungkinkan terbentuknya perkampungan-perkampungan baru oleh masyarakat sehingga efek ke hutan semakin besar.

Hewan Ternak Di Hutan Hujan

Membersihkan hutan untuk menggembalakan hewan ternak adalah penyebab utama hilangnya hutan di Amazon, dan Brazil saat ini memproduksi daging sapi lebih banyak dari sebelumnya. Selain beternak untuk makan, banyak pemilik tanah menggunakan hewan ternak mereka untuk meluaskan tanah mereka. Hanya dengan menaruh hewan ternak mereka di suatu wilayah di hutan, para pemilik tanah bisa mendapatkan hak kepemilikan bagi tanah tersebut. Untuk di Indonesia, aktivitas peternakan di hutan hujan tropis tidak berpengaruh signifikan karena peternakan oleh penduduk umumnya masih tradisional.

FOREST DEGRADATION


May be generally defined as a reduction in tree density and/or increased disturbance to the forest that results in the loss of forest products and forest-derived ecological services. The FAO defines degradation as changes within the forest class (for example, from closed to open forest) that negatively affect the stand or site and, in particular, lower production capacity. Common causes of forest degradation include selective felling, fuelwood collection, road building, and shifting cultivation.


Fires in Amazon cancel part of the Emission Reduction and Conservation Program

One of the key architectural components discussed in Copenhagen on December 2009 was the development of a framework for reducing emissions from deforestation and forest degradation (REDD) and promoting conservation, sustainable management of forests and enhancement of forest carbon stocks (REDD+) in developing countries.

The REDD Programme is the United Nations Collaborative initiative on Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation (REDD) in developing countries.


Now, a new research, led by the University of Exeter and published on June 4, in Science, found that an increase in fires in the Brazilian Amazon, risks cancelling part of the carbon savings achieved by UN measures to reduce greenhouse gas emissions from deforestation and degradation.

Analysing satellite deforestation and fire data to understand the influence of REDD policy on fire patterns in Amazonia, the researchers found that fire occurrence rates in the Amazon have increased in 59% of areas that have reduced deforestation.

Fires in the Amazon are normally caused by humans. Brazilian farmers are using “slash and burn” methods to create new fields from forests or clear new growth from fields. The researchers say that the benefits of deforestation will be partially negated if a sustainable fire-free land-management of deforested areas is not adopted in the UN-REDD programme.

Kamis, 11 November 2010

tipe hutan

 hutan hujan tropis di bukit barisan
  1. Hutan Alam (Natural Forest)tipe hutan

Hutan alam, yaitu hutan yang terjadi melalui proses suksesi secara alam. Hutan alam ini dibagi atas dua jenis sbb :
    1. Hutan alam primer merupakan hutan alam asli yang belum pernah dilakukan penebangan oleh manusia. Hutan ini bercirikan pohon-pohon tinggi berumur ratusan tahun yang tumbuh dari biji. Hutan alam primer mencakup hutan perawan, hutan alam primer tua dan hutan alam primer muda.
    2. Hutan alam sekunder merupakan hutan asli yang pernah mengalami kerusakan oleh kegiatan alam. Hutan ini bercirikan pohon-pohon yang lebih rendah dan kecil apabila dibandingkan dengan pohon-pohon pada hutan alam primer. Hutan alam sekunder mencakup hutan vulkanogen, hutan kebakaran alam dan hutan penggembalaan alam.
           2. Hutan Antropogen
Hutan antropogen merupakan hutan yang terjadi melalui proses suksesi komunitas tumbuhan dengan campur tangan manusia. Hutan tersebut mencakup hutan trubusan, hutan tanaman, hutan penggembalaan antropogen, hutan ladang dan hutan kebakaran antropogen. Pada tipe hutan ini terdapat faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi hutan seperti temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya dan angin. Oleh karena itu, keadaan ekstrem faktor iklim atau tanah akan menyebabkan terjadinya bentuk adaptasi yang berbeda-beda antar vegetasi sehingga berpengaruh terhadap susunan dan formasi hutan. Formasi klimatis (climatic formation) berupa tipe hutan yang dalam pembentukannya sangat dipengaruhi oleh iklim. Sedangkan formasi edafik (edaphic formation) pembentukannya sangat dipengaruhi oleh keadaan tanah.

3. Hutan Hujan Tropik (Tropical Rain Forest)
Hutan hujan tropik terdapat di wilayah dengan tipe iklim A atau B. Dapat juga dikatakan sebagai hutan yang terdapat di wilayah dengan iklim selalu basah, tanah Podsol, Latosol, Aluvial dan Regosol dengan drainase baik dan terletak cukup jauh dari pantai. Menurut Simbolon dkk (1989), bahwa hutan hujan tropik memiliki ciri, yaitu terdapat pada daerah beriklim basah, tanah kering, pedalaman dan berupa hutan campuran didominasi oleh pohon-pohon yang selalu hijau.
Hutan hujan tropik merupakan bentuk hutan klimaks utama dari hutan-hutan di dataran rendah yang mempunyai tiga stratum (lapisan tajuk) pohon A, B, C atau lebih. Curah hujan di daerah tersebut 2.000-4.000 mm per tahun, suhu udara 25o s.d 26 o dan rata-rata kelembaban relatif udara 80%. Pepohonan tertinggi pada hutan hujan tropik dapat mencapai 40-55 meter. Di Indonesia hutan ini banyak terdapat di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Hutan tersebut mempunyai kurang lebih 3.000 jenis pohon besar dan termasuk ke dalam 450 marga atau genus.
Berdasarkan ketinggian tempat tumbuhnya, hutan hujan tropik dibedakan menjadi tiga zona, yaitu :
a.       zona 1 = 0-1.000               m         dpl disebut hutan hujan bawah.
b.      zona 2 = 1.000-3.300        m         dpl disebut hutan hujan tengah.
c.       zona 3 = 3.300-4.100        m         dpl disebut hutan hujan atas.

4. Hutan Musim (Monsoon Forest)
Hutan musim merupakan hutan campuran yang terdapat di daerah beriklim muson, yaitu daerah yang memiliki perbedaan nyata antara musim kemarau dan musim basah. Hutan musim merupakan salah satu tipe hutan yang terdapat pada daerah-daerah dengan tipe iklim C atau D dan rata-rata curah hujan setahun antara 1.000 mm dan 2.000 mm. Hutan ini banyak terdapat di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Nusa Tenggara. Tegakan hutan didominasi oleh jenis-jenis pohon yang menggugurkan daun di musim kering.

5. Hutan Gambut (Peat Forest)
Hutan gambut adalah hutan yang tumbuh di atas kawasan yang digenangi air dalam keadaan asam dengan pH 3,5-4,0. Kondisi seperti itu menyebabkan tanahnya miskin hara. Hutan ini menjadi suatu ekosistem yang cukup unik karena tumbuhnya di atas tumpukan bahan organik yang melimpah dan hidupnya bergantung kepada hujan. Gambut terjadi pada hutan karena pohon tumbang dan tenggelam dalam Lumpur, didalamnya terdapat sedikit oksigen sehingga jasad renik tanah sebagai pembusuk tidak mampu melanjutkan proses pembusukan secara sempurna terhadap bahan-bahan tanaman tersebut. Hutan ini banyak terdapat di pantai timur Sumatra, bagian utara Kalimantan Barat hingga bagian hilir aliran sungai Barito dan di bagian selatan Papua.

6. Hutan Rawa (Swamp Forest)
Hutan rawa terdapat di daerah-daerah yang selalu tergenang air tawar. Umumnya terletak dibelakang hutan payau, itu berarti hutan rawa terletak dari arah tepi laut sesudah hutan payau. Seperti pada hutan payau, hutan rawa dicirikan oleh adanya tempat tumbuh yang mempunyai aerasi buruk. Jenis tanah pada habitat hutan rawa dari jenis aluvial. Hutan rawa mempunyai beberapa stratum tajuk dan bentuknya hampir menyerupai hutan hujan. Hutan ini banyak terdapat di Sumatra bagian timur, Kalbar, Kalteng, dan wilayah bagian selatan Papua.

7. Hutan Payau (Mangrove Forest)
Hutan payau merupakan suatu ekosistem yang unik dengan bermacam-macam fungsi. Hutan payau terdapat pada daerah pantai yang selalu dan secara teratur tergenang air laut, dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan tidak terpengaruh oleh iklim. Kondisi tanah di hutan payau berupa tanah Lumpur, pasir atau Lumpur berpasir. Tegakan hutan payau hanya mempunyai satu stratum tajuk dengan pohon-pohon yang tingginya mencapai 50 meter.

8. Hutan Pantai (Littoral Forest)
Hutan pantai terdapat di daerah kering di tepi pantai. Hutan tersebut tidak terpengaruh oleh iklim, pada daerah dengan kondisi tanah berpasir dan berbatu-batu, serta terletak di atas garis pasang tertinggi. Hutan pantai biasanya tidak lebar dan terdapat di pantai yang agak tinggi dan kering. Daerah tersebut jarang digenangi air laut. Akan tetapi sering terjadi angin kencang dengan hembusan garam. Hutan pantai terdapat di daerah pesisir karena bentuk dan letak pantainya yang tidak terakumulasi pasir bahkan mengalami pengikisan serta terdapat pohon khas yaitu anggota genus Barringtonia dan Calophyllum.

Rabu, 10 November 2010

Pohon Jati Emas

Penanaman Jati Emas Yang Ideal?

Dilahan sekitar satu hektar di daerah Kotabumi,Lampung saya mencoba menanam Pohon Jati Emas sebanyak 1.000 buah.Tepatnya sekitar bulan Agustus 2007 saya membeli bibit emas tersebut dalam acara tahunan Flona di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Dengan pembelajaran teori sederhana akhirnya saya menanam pohon tersebut. Sekelumit proses penanaman pohan jati emas:

1. Bibit Jati Emas

Karena saya baru mencoba untuk menanam Pohan Jati Emas,bibit saya beli dari salah satu peserta pameran Flona tahun 2007 di Lapangan Banteng yaitu PT. Tirtabrata Niagatama dengan harga perpohon adalah Rp6.500,-.

2. Persiapan Lahan
Lahan yang sekarang kami tanami dengan pohon jati emas sebenarnya sudah beberapa kali ditanami oleh tanaman-tanaman lainnya, seperti cengkeh, kemiri, singkong, jangung dan yang terakhir adalah rambutan. Lahan tersebut kami bersihkan dengan memotong seluruh pohon yang ada, kayu serta ranting-ranting sisa pohon kami bakar.

3. Pembuatan Lubang
Setelah lahan bersih kami lakukan pengukuran jarak jati untuk di tanam. Jarak penanaman yang kami lakukan adalah 2 x 2 meter. Tanah digali dengan ukuran lebar lubang adalah 40 x 40 cm dengan kedalaman 40 cm. Tanah Bagian atas dicampur dengan kurang lebih 5 kg pupuk kandang, diaduk-aduk sampai rata dan kembalikan kebagian dasar lubang.

Selasa, 09 November 2010

Pengertian Arti Definisi Hutan

Pengertian Hutan, Manfaat Hutan & Yang Mempengaruhi Persebaran Hutan

A. Pengertian Arti Definisi Hutan

Hutan adalah suatu wilayah yang memiliki banyak tumbuh-tumbuhan lebat yang berisi antara lain pohon, semak, paku-pakuan, rumput, jamur dan lain sebagainya serta menempati daerah yang cukup luas. Negara Kita Indonesia memiliki kawasan hutan yang sangat luas dan beraneka ragam jenisnya dengan tingkat kerusakan yang cukup tinggi akibat pembakaran hutan, penebangan liar, dan lain sebagainya.