Selasa, 23 November 2010

Jati (Tectona grandis)


Jati mas, jati super, jati pusaka, jati unggul dan lain-lain nama, sebenarnya merupakan produk yang sama. Jati (Tectona grandis) adalah tumbuhan penghasil kayu dengan kualitas terbaik di dunia. Tumbuhan ini sebenarnya berasal dari India. Masuk ke Indonesia diperkirakan pada zaman pra Hindu. Pada waktu itu, kapal-kapal dagang Hindu sudah mulai masuk ke kepulauan Nusantara untuk mencari kayu cendana, gaharu, kemenyan, pala, cengkeh, lada dan kelapa. Kapal-kapal yang terserang badai dan patah tiang layarnya, setelah berlabuh di pesisir utara pulau Jawa segera mencari kayu pengganti tiang yang patah. Tetapi tidak ada kayu yang kualitasnya sama dengan tiang layar mereka. Sebab tiang layar kapal-kapal Hindu tadi terbuat dari kayu jati. Sejak itulah diupayakan untuk mengintroduksi tanaman jati ke pulau Jawa, agar perahu-perahu Hindu yang rusak tiang layarnya tidak mengalami kesulitan untuk melakukan perbaikan. Pertama-tama, tanaman jati dibudidayakan di kawasan Rembang dan Blora. Baru kemudian meluas ke kawasan-kawasan lainnya. Ketika kerajaan-kerajaan Hindu mengalami masa kejayaannya, budidaya tanaman jati ini tetap dilanjutkan. Tetapi dinasti yang memerintah kerajaan Jawa berganti-ganti. Ibukotanya juga berpindah-pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur dan kembali ke Jawa Tengah lagi. Sejak itulah komoditas jati tidak terurus hingga menjadi tumbuhan liar di hutan-hutan di pulau Jawa.
Ketika bangsa Belanda dan juga Inggris menguasai pulau Jawa, budidaya tanaman jati kembali dilakukan secara serius. Penanaman jati menjadi monopoli pemerintah. Saat ini pengelola hutan jati di pulau Jawa adalah PT. Perhutani. Sebuah BUMN yang mengelola hutan di seluruh pulau Jawa, kecuali hutan di Ujung Kulon, gunung Halimun, Gede – Pangrango, Kep. Seribu, Bromo – Tengger – Semeru, Meru Betiri, Alas Purwo dan Baluran yang berstatus Taman Nasional. Usia panen tanaman jati berkisar antara 50 tahun sampai 80 tahun. Hingga kayu jati yang dipanen PT. Perhutani sekarang-sekarang ini, merupakan tanaman tahun 1920-an sampai tahun 1950-an. Berarti kayu jati hasil panen sekarang ini, masih lebih banyak yang merupakan tanaman (warisan) pemerintah kolonial Hindia Belanda daripada yang kita tanam sendiri. Mengingat usianya yang sampai puluhan tahun, petani maupun investor kurang begitu tertarik untuk menanam jati. Hingga ketika terbetik kabar tentang adanya varietas tanaman jati yang sudah bisa dipanen sejak umut 10 tahun (penjarangan) kemudian dipanen habis pada umur 15 tahun, masyarakat pun menyambutnya dengan sangat antusias. Jati-jati genjah demikian disebut sebagai jati mas, jati super, jati pusaka, jati unggul dan lain-lain.
Bayangan masyarakat awam terhadap jati super adalah, pada umur 15 tahun diameter tanaman sudah bisa menyamai jati biasa yang berumur 50 tahun sampai 80 tahun. Dugaan ini tentu saja keliru. Diameter jati super umur 15 tahun, masih sama dengan diameter kayu jati biasa pada umur yang sama, yakni hanya sekitar 15 cm. Dengan asumsi, pertumbuhan diameter kayu jati, tiap tahunnya sebesar 1 cm. Sebenarnya, jati biasa tanaman PT. Perhutani pun pada umur 10 tahun sudah mulai dipanen untuk penjarangan tanaman. Hasilnya adalah kayu-kayu jati berdiameter 10 cm, yang penampilan fisiknya jelek. Hingga sebenarnya, kelebihan jati super dan lain-lain tersebut bukan pada umur panennya, melainkan pada jenis kayu yang dihasilkannya. Kriteria utama kayu jati, adalah pada jenisnya, yakni vinir dan hara. Vinir adalah kayu jati yang seratnya sangat halus hingga mudah sekali disayat. Kayu jenis ini akan diserap oleh industri furniture kelas tinggi atau untuk bahan pelapis. Sementara jenis hara akan diserap oleh industri furniture biasa. Kayu jenis ini berserat kasar dan banyak mata bekas tumbuhnya cabang. Kelebihan jati super adalah, kayu yang dihasilkannya merupakan jenis vinir yang harganya lebih tinggi dari jati biasa yang lebih banyak menghasilkan kayu hara.
Baik jenis vinir maupun hara, masih pula dibedakan menjadi beberapa katagori mutu. Mulai dari mutu utama (terbaik), standar pertama, kedua dan seterusnya sampai dengan mutu kelima. Masing-masing mutu tentu memiliki nilai harga yang berlainan. Berikutnya, harga kayu jati juga akan ditentukan oleh diameter dan panjang gelondongan. Harga kayu vinir mutu utama berdiameter 15 cm, pasti lebih murah jika dibanding dengan kayu yang sama dengan diameter 30 cm atau 50 cm, misalnya. Sebab kayu sisa yang terbuang pada 1 m3 kayu berdiameter 50 cm, lebih sedikit dibanding 1 m3 kayu dengan kualitas sama yang diameternya 15 cm. Selain faktor diameter, yang juga ikut menentukan harga kayu jati adalah panjang gelondongan. Kayu dengan kualitas dan diameter sama namun dengan panjang gelondongan berbeda, harganya pun akan berbeda pula. Jadi, meskipun lebih banyak menghasilkan jenis vinir, harga gelondongan jati super yang dipanen pada umur 15 tahun belum tentu lebih mahal jika dibanding dengan jenis hara yang dipanen pada umur 60 tahun atau 80 tahun dengan diameter 50 cm dan 80 cm. Hal demikian inilah yang selama ini tidak diketahui oleh para petani atau calon investor kita.
Sebenarnya sejak awal abad 20, pemerintah kolonial Belanda sudah mengimpikan adanya klon tanaman jati yang tidak menghasilkan cabang. Tumbuhnya lurus dengan serat kayu yang halus. Klon-klon ini setelah diseleksi lalu diperbanyak secara vegetatif dengan okulasi. Tetapi cara ini terlalu mahal untuk diterapkan pada jati. Keadaan baru berubah ketika ditemukan teknologi perbanyakan vegetatif dengan kultur jaringan. Dengan cara ini perbanyakan vegetatif bisa dilakukan dengan massal dan biaya murah. Klon tanaman jati yang tidak menghasilkan cabang itulah yang secara selektif diteliti dan diperbanyak oleh Balitbang Dep. Kehutanan dan Perum Perhutani. Hasilnya tentu saja hanya diperuntukkan bagi kepentingan intern Perum Perhutani. Dewasa ini PT. Perhutani telah memiliki sekitar 30 klon jati unggul. Tetapi di Thailand dan Malaysia, upaya serupa dilakukan oleh pihak swasta. Hasilnya dipromosikan ke masyarakat luas hingga sampai ke Indonesia. Pihak swasta Indonesia pun menanggapinya dengan sangat antusias. Klon-klon jati tanpa cabang dengan serat halus ini pun diperbanyak dengan kultur jaringan. Harga bibit jati super seperti ini berkisar antara Rp 4.000,- sampai dengan Rp 20.000,- per tanaman dengan ketinggian sekitar 50 cm. Variasi harga yang sangat tinggi ini disebabkan oleh banyak faktor. Terutama oleh perbedaan upah tenaga kerja dan volume bibit yang dihasilkannya. Semakin banyak volume bibit yang dihasilkan, harga satuannya akan semakin murah.
Karena kelebihan utama jati unggul ini terletak pada kualitas kayunya, maka promosi mengenai pendeknya jangka waktu panen sebenarnya sangat tidak relevan. Sebab ketuaan umur panen, juga akan menghasilkan diameter kayu yang makin besar dan hal ini juga akan berpengaruh pada tinggi rendahnya harga. Yang lebih pas dipromosikan pada jati unggul ini adalah kualitas kayu yang akan dihasilkannya. Hingga usia panennya boleh 15 tahun, 30 tahun, 50 tahun atau malahan 100 tahun. Semakin tua umur tanaman, semakin tinggi harga kayu yang dihasilkannya, karena diameternya akan terus bertambah. Pengertian ini penting dikemukakan karena variasi harga kayu jati resmi (bukan kayu Sepanyol = Separo Nyolong) berkisar antara Rp 1.500.000,- yang terendah sampai Rp 8.000.000,- yang tertinggi per m3 gelondongan. Variasi harga ini selain ditentukan oleh jenis kayu dan kualitasnya, juga oleh diameter gelondongannya. Informasi tentang jenis jati unggul yang bisa dipanen pada usia 15 tahun sebenarnya sangat menyesatkan karena diameter kayunya masih sekitar 15 cm. Nilai kayu dengan diameter demikian, bagaimana pun juga, tetap lebih rendah jika dibandingkan dengan kayu dengan kualitas yang lebih rendah, namun dengan diameter yang lebih besar.
Dengan harga bibit rata-rata Rp 8.000,- per batang, dengan populasi tanaman per hektar 1.000 pohon (jarak tanam 3 x 3 m), maka keperluan bibit untuk tiap hektar lahan Rp 8.000.000,-. Biaya olah tanah dan penanaman sekitar Rp 2.000.000,-. Hingga modal penanaman jati unggul dengan jarak tanam rapat adalah Rp 10.000.000,- per hektar. Dengan kapasitas kerja 1 orang untuk tiap 5 hektar lahan, dengan upah harian Rp 10.000,- per hari; maka upah kontrol untuk tiap hektar lahan selama 15 tahun adalah Rp 18.000.000,-. Ditambah dengan biaya lain-lain seperti pupuk, biaya tersebut bisa mencapai Rp 30.000.000,-. Hingga total beban investasi dan amortisasi selama 15 tahun adalah Rp 40.000.000,-. Asumsi hasil kayu setelah 15 tahun sekitar 100 m3 dengan harga terendah Rp 1.500.000,- per m3, maka pendapatan kotor per hektar lahan jati unggul setelah 15 tahun adalah Rp 150.000.000,-. Kalau harga kayu bisa mencapai Rp 3.000.000,- per m3 maka pendapatan kotornya akan menjadi Rp 300.000.000,-. Pendapatan ini cukup menarik untuk lahan-lahan marjinal yang memang tidak mungkin ditanami komoditas lain. Tetapi untuk lahan-lahan subur pendapatan kotor Rp 30.000.000,- per 15 tahun atau Rp 20.000.000,- per tahun masih belum begitu menarik. Sebab masih banyak komoditas yang bisa mendatangkan pendapatan kotor beberapa kali lipat dibandingkan dengan jati unggul. Komoditas buah-buahan pada umumnya mampu mendatangkan pendapatan yang jauh lebih tinggi dibanding jati.
Kayu jati memiliki banyak keunggulan dibanding dengan jenis-jenis kayu lainnya karena beberapa hal. Pertama, kelas keawetannya yang tinggi. Keawetan jati, antara lain disebabkan oleh adanya minyak asiri yang disebut teak oil dalam jaringan kayunya. Tingkat kekuatan kayu ini juga tergolong tinggi. Kelas keawetan dan kekuatan jati hanya tertandingi oleh sono keling, ebony, ulin dan beberapa kayu keras lainnya. Tetapi, tingkat kekerasan jati hanya tergolong sedang. Namun justru tingkat kekerasan yang sedang ini akan memudahkan proses pengerjaannya untuk bahan bangunan maupun furniture. Selain kelas keawetan, kekuatan dan kekerasannya yang baik, jati juga masih memiliki keunggulan pada keindahan serta kehalusan tekstur seratnya. Selain warna kayunya yang coklat alami. Kebutuhan kayu jati pada tahun-tahun mendatang akan semakin besar. Sebab kayu-kayu rimba tropis akan semakin terbatas volumenya yang bisa dieksplorasi. Sementara kayu budidaya lainnya seperti mahoni, pinus dan albisia, kelasnya masih berada di bawah jati. Hingga permintaan kayu jati akan tetap lebih baik dibanding dengan kayu-kayu tadi. Meskipun penanaman jati sudah meluas sampai ke Afrika, namun untuk saat ini pulau Jawa masih merupakan sentra hutan jati utama di dunia.
Jati-jati unggul yang sekarang ini digandrungi masyarakat, sebenarnya hanyalah salah satu alternatif komoditas. Bukan merupakan komoditas hebat yang akan mendatangkan keuntungan luar biasa. Asumsi masyarakat awam bahwa jati super ketika dipanen pada umur 15 tahun akan menghasilkan volume kayu sama dengan jati biasa pada umur 50 tahun jelas perlu diluruskan. Dewasa ini masih banyak penjual bibit jati unggul yang memasarkan produk mereka dengan harga Rp 15.000,- sampai Rp 20.000,- per tanaman. Harga itu tentu terlalu tinggi sebab bibit pisang kultur jaringan bisa diperoleh dengan harga di bawah Rp 5.000,- per tanaman. Mestinya, jati yang penanganan aklimatisasinya tidak serumit pisang bisa berharga lebih murah minimal sama dengan pisang. Dan kenyataannya, ada juga penangkar jati unggul yang bisa melepas produk mereka dengan harga Rp 4.000,- per tanaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar